Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Minggu, 12 Februari 2012

"Internal Conflict"


http://www.cartoonstock.com/lowres/ndi0266l.jpg
Konflik: Mempunyai masalah yaitu kesulitan untuk mengatakan “tidak”. Menjadi sebuah masalah karena ketika kita memberi jawaban IYA atau MUNGKIN, kita sendiri yang merasa terbebani, merasa bodoh, kesal, stress dan kemudian uring-uringan bahkan menyalahkan diri-sendiri dan orang lain. Sering sekali kita enggan untuk menolak sesuatu karena takut dijauhi orang, dibilang jahat, pelit, tidak solider, tidak asik, dan masih banyak lagi lainnya.

Konflik di atas termasuk dalam jenis konflik internal individu (soul conflict) yaitu konflik yang terjadi di dalam individu itu sendiri .

Mengatakan tidak memang tidak mudah, apalagi ktika dihadapkan dengan permasalahan yang beresiko tinggi dan orang – orang mengharapkan kita untuk meng-IYA-kan. Akan tetapi, berani mengatakan TIDAK menunjukan bahwa kita mampu melindingi diri – sendiri dari hal – hal yang tidak kita mau, yang tidak kita suka.

Solusi, terdapat enam strategi untuk mengatakan tidak yaitu:
1.      Menggunakan sedikit waktu untuk berpikir sebelum menyatakan keputusan.
Dalam membuat keputusan harus ada penjelasan dan pertimbangan tersendiri atas keputusan yang dibuat, yang dapat membantu dalam menjalani keputusan itu.
2.      Mencoba menerapkan cara berpikir POWER OF NO  sebelum membuat suatu keputusan .
Menurut cara berpikir POWER OF NO, sebelum membuat suatu keputusan, kita perlu mempertimbangkan 5 hal:
-        Purpose (tujuan)
-        Options (pilihan-pilihan)
-        When (kapan)
-        Emotional Ties (ikatan emosi)
-        Rights & Responsibilities (hak dan tanggung jawab)
3. Berdiri tegak dengan kedua kaki dibuka sejajar dengan bahu. Mengambil nafas panjang dan mendengarkan baik – baik penjelasan orang yang memita jawaban kita supaya kita tahu apakah TIDAK adalah jawaban yang terbaik. Waktu kita menyadari TIDAK adalah jawaban yang paling tepat, segera katakan TIDAK. Tetap berdiri tegak dan bernafas dengan tenang sampai kita tahu keputusan kita bisa dimengerti.
4.      Setelah membuat keputusan, jangan menyalahkan orang lain atas konsekuensinya. Ini adalah keputusan kita, ada penjelasannya, dan kita sudah tahu konsekuensinya.
5.      Memikirkan diri kita sendiri. Mengikuti kata orang lain membuat kita menjadi plin-plan, karena setiap kali orang tersebut berubah pikiran, kita akan berubah pikiran juga.
6.      Mengatakan TIDAK dalam bentuk tulisan jika terasa sulit untuk mengatakannya secara lansung.

Sabtu, 11 Februari 2012

'Menggantung' nasib pekerja outsourcing


Analisa Kasus
  1. Latar Belakang:
Krisis ekonomi global terus menelan korban. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) per 29 Mei 2009, sebanyak 52.399 orang telah kehilangan pekerjaan. Mereka merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK), yang sebagian besar adalah pekerja alih daya (outsourcing). Karyawan yang pertama kali mereka 'korbankan' untuk meringankan beban keuangan perusahaan adalah karyawan berstatus outsourcing tersebut.
Selama dipekerjakan, sering sekali karyawan berstatus outsourcing mendapatkan perlakuan seperti warga kelas dua. Sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) dan berbagai tunjangan yang diperoleh karyawan tetap. Pekerja outsourcing juga harus bersiap-siap mencari pekerjaan kembali, setelah masa kontrak mereka habis dan mereka tidak mendapatkan pesangon maupun tali asih dari perusahaan tempatnya bekerja maupun perusahaan penyalurnya.
Melihat berbagai permasalahan yang menimpa pekerja outsourcing, kalangan serikat pekerja mendesak pemerintah untuk secepatnya menghapus sistem alih daya. Hingga kini, pemerintah seolah bergeming. Sistem outsourcing masih tetap dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Bahkan beberapa hukum yang ada di Indonesia mendukung atau melegalkan adanya outsourcing.
http://www.webdesigndev.com/wp-content/uploads/2010/10/outsourcing.gif
  Legalisasi sistem alih daya (outsourcing) :
  Keputusan Menteri Perdagangan No. 264/KP/89 tentang Pekerjaan Subkontrak Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.
   Surat Edaran Menakertrans No. SE-08/MEN/1990 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan Pekerjaan terhadap Pekerja.
   Keputusan Menteri Perdagangan No. 135/KP/VI/1993 tentang Pemasukan dan Pengeluaran.
    Peraturan Menakertrans No. 02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Barang ke dan dari Kawasan Berikat.
      UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sumber: Depnakertrans, diolah
Dari sisi pengusaha, penghapusan sistem kerja outsourcing jelas akan memberatkan mereka karena keberadaan pekerja outsourcing dibutuhkan untuk pekerjaan atau proyek bersifat sementara dan hanya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah terbatas.
Didukung undang-undang
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno dan wakil ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mathias Tambing mengatakan penghapusan maupun perubahan sistem outsourcing sulit dilakukan karena hal itu dilegalkan oleh UU Ketenagakerjaan. Mereka hanya mengharapkan pemerintah menempatkan masalah outsourcing sebagai prioritas untuk diselesaikan.
Menurut Iftida Yasar, Penasihat Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), sistem outsourcing sebenarnya tidak merugikan pekerja, sepanjang sistem itu dijalankan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Solusi yang menguntungkan pekerja dan pengusaha tentu harus segera diupayakan. Tak ada alasan untuk membuat pekerja outsourcing sebagai warga kelas dua, dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
  1. Rumusan Permasalahan:
Bagaimana pengaruh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terhadap fungsi Manajemen SDM tentang employee dan labor relationship terkait penerapan outsourcing?

  1. Pembahasan:
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut beberapa penjabarannya dalam tabel 1.
 TABEL 1
Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING
KONTRA OUTSOURCING
-       Business owner bisa fokus pada core business.
-       Cost reduction.
-       Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
-       Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.
-        Bagian dari modenisasi dunia usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

-    Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)
-    Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh.  (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Eksploitasi manusia (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu danOutsourcing, (www.sinarharapan.co.id)
(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing di internet)
Undang-undang Mengenai Outsourcing
Untuk mengantisipasi kontra yang terjadi dalam penggunaan outsourcing, maka dibuat Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Bab IX tentang Hubungan Kerja, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang terkait langsung dengan outsourcing. Berikut dijabarkan isi dari undang-undang tersebut.
·        Pasal 50 – 55, Perjanjian Kerja
·        Pasal 56 – 59, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59
(1)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1.      Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.      Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu  yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3.      Pekerjaan yang bersifat musiman;
4.      Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangaka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali  untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

·        Pasal 64 – 66, Outsourcing
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.



Pasal 65
(1)               Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2)               Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.                   Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.                  Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.                   Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.                  Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3)               Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)               Perlindungan kerja dan yarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)               Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)               Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.
(7)               Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)               Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 66
Penyediaan jasa pekerja./buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
Pasal 1 ayat 15, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atas kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Langkah-langkah Penerapan Sistem Outsourcing
Ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, menjadi legitimasi tersendiri bagi keberadaan outsourcing di Indonesia. Artinya, secara legal formal, sistem kerja outsourcing memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. Keadaan demikian yang membuat pengusaha menerapkan sistem ini.  (Sumber: “Hadang Outsourcing dengan Framework Agreement”, www.hukumonline.com).
Dimuatnya ketentuan outsourcing pada Undang-Undang Tenaga Kerja dimaksudkan untuk mengundang para investor agar mau berinvestasi di Indonesia.
Penggunaan outsourcing seringkali digunakan sebagai strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada core business-nya. Namun, pada prakteknya outsourcing didorong oleh keinginan perusahaan untuk menekan cost hingga serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda walaupun seringkali melanggar etika bisnis. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, malangnet.wordpress.com)
Empat alasan menggunakan outsourcing, yaitu agar perusahaan dapat fokus terhadap core business, untuk menghemat biaya operasional, turn over karyawan menjadi rendah, modernisasi dunia usaha dan lainnya. Adapun yang menjadi alasan lainnya adalah :
a.       Efektifitas manpower
b.      Tidak perlu mengembangkan SDM untuk pekerjaan yang bukan utama.
c.       Memberdayakan anak perusahaan.
d.      Dealing with unpredicted business condition.
Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1.   Penentuan partner outsourcing.
    Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner outsourcing.
2.   Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
    Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga  mereka memiliki kepastian hukum.
3.   Pelanggaran ketentuan outsourcing.
    Perusahan outsourcing  memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga, yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing Banyak Disalahgunakan”,  www.fpks-dpr.or.id)

Indikator Keberhasilan Penerapan Sistem Outsourcing
Tidak semua perusahaan berhasil menerapkan sistem outsourcing. Responden melihat indikator keberhasilan terbesar (25%) dalam penerapan outsourcing adalah pihak yang terlibat harus bertanggungjawab, mendukung, dan berkomitmen untuk melaksanakan outsourcing. Sedangkan 23.81% menyatakan bahwa keberhasilan dilihat dari detail aturan main outsourcing didefinisikan dalam kontrak kerja. Untuk kejelasan ruang lingkup proses outsourcing yang ingin dilakukan menjadi faktor keberhasilan yang dipilih oleh 17.86%. Update perjanjian antar pengguna dan penyedia tenaga outsource (13.10%), ada atau tidaknya prosedur formal dalam tender calon perusahaan outsourcing (10.71%) dan jangka waktu penyelenggaraan outsourcing (9.52%).
Inti dari faktor-faktor tersebut diatas adalah harus adanya kerjasama dan komitmen yang jelas antara kedua belah pihak agar outsourcing dapat berjalan sebagaimana harapan yang keseluruhan perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan secara jelas dan terperinci di dalam kontrak outsourcing

Keefektifan Outsourcing
Dengan melihat alasan menggunakan outsourcing, faktor-faktor pemilihan perusahaan penyedia jasa outsourcing, serta kepuasan perusahaan terhadap tenaga outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga outsource dinilai efektif dan akan terus menggunakan outsourcing dalam kegiatan operasionalnya.
Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya:
a. Komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau permasalahan yang terjadi.
b.Tenaga outsource telah di training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan.
c. Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yang ditulis secara detail dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya.
Sedangkan yang menyebabkan outsourcing menjadi tidak efektif adalah karena kurangnya knowledge, skill dan attitude (K.S.A) dari tenaga outsource.

4.     Kesimpulan :

Penghapusan atau perubahan undang-undang Ketenagakerjaan dan hukum lain yang melegalkan outsourcing dirasakan sulit. Diperlukan kerjasama pemerintah, pengusaha ataupun para pekerja outsourcing tersebut untuk terus mempelajari bagaimana seharusnya jika akan menjadi pekerja outsourcing, bagaimana seharusnya perusahaan memperlakukan pekerja tersebut dan dukungan dari pemerintah yang lebih cepat dan efektif agar kegiatan outsourcing tersebut dapat berjalan dengan positif dan bukan menjadikan para pekerja menjadi sengsara.

Sebagai contoh, dilakukan kontrak kerja yang jelas antara perusahaan, penyalur dan pekerja outsourcing. Jika belum ada kejelasan sebagai pekerja seharusnya ia selalu mengingatkan agar tidak terjadi diskomunikasi. Perusahaan juga harus memberikan yang tunjangan yang layak walaupun mungkin tidak sama dengan pekerja tetap.

 By: Nisma Islami, SE


 DAFTAR PUSTAKA:

“Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, malangnet.wordpress.com
“Hadang Outsourcing dengan Framework Agreement”, www.hukumonline.com
Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com
Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id

”Jaringan Bisnis China Menggurita”


”Jaringan Bisnis Cina Menggurita”


Analisa Kasus
  1. Ringkasan Artikel:
Penguasaan pasar Indonesia oleh jaringan bisnis asal China sudah menggurita hingga ke tingkat konsumen akhir. Distribusi barang impor asal China hanya memerlukan waktu sekitar dua jam, mulai dari bongkar muat di pelabuhan hingga diperdagangkan di pasar induk yang ada di Jakarta.
Kelemahan industri Indonesia dalam menghadapi barang China terlihat dari besarnya aliran impor dari negara tersebut ke pasar dalam negeri. Tingginya impor China menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat permintaan di dalam negeri sangat besar. Namun, pelaku usaha dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan itu.
Berdasarkan pemantauan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, sedikitnya ada sekitar 800 pengusaha asing dan domestik yang meminta fasilitas kepada pemerintah. Ini menyedihkan karena menunjukkan pelaku usaha dalam negeri yang tidak mandiri dan sangat bergantung pada pemberian pemerintah.
Padahal, insentif pemerintah itu hanya layak diberikan kepada pelaku usaha yang baru memulai investasi dan menjalankan bisnisnya maksimal dua tahun. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, selama Januari-November 2009, ekspor Indonesia ke China tercatat 7,71 miliar dollar AS, sementara impor 12,01 miliar dollar AS.

1.bp.blogspot.com/

  1. Rumusan Permasalahan:
a)      Apa penyebab bisnis China bisa menggurita (maju) di Indonesia?
b)      Apakah perbedaan sistem bisnis China dengan sistem bisnis Indonesia?
c)      Sikap apa yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia?

  1. Pembahasan:
Impor produk-produk China ke Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Namun peningkatan impor itu juga diimbangi dengan kenaikan investasi China di Indonesia. Jika pada tahun 2004 impor China ke Indonesia hanya sebesar hanya sebesar 7,9 % dari total impor yang dilakukan Indonesia, namun pada tahun 2009 sudah melonjak ke level 19,77 %.
Awal Januari 2010 mulai berlaku perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China (Asean – China Free Trade Agreement / CFTA). Kesepakatan tersebut telah dibuat pada tahun 2004 yang diawali mulai pembicaraan pada tahun 2002. Ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra terhadap pelaksanaan perdagangan bebas Asean-China terutama di Indonesia.
Ada yang pro dan yang kontra merupakan hal yang wajar dan tidak perlu disikapi berlebihan sehingga mengesankan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak mempunyai komitmen yang telah mereka buat bersama-sama antara negara ASEAN – dengan China.
Para pelaku ekonomi (pengusaha) di negeri China dengan dukungan penuh negerinya mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik dengan harga yang kompetitif (murah), sehingga produk China mampu menembus pasar di berbagai negara termasuk Indonesia.
Ketidaksiapan bangsa Indonesia untuk menghadapi dan melaksanakan perdagangan bebas Asean – China dikarenakan produk-produk yang dihasilkan bangsa Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan oleh pengusaha negeri China. Produk Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri khususnya dari negeri China dikarenakan (maaf) berkualitas rendah dan harganya tidak kompetitif.
1)      Falsafah bisnis Cina yang mengajarkan orang cina untuk bekerja keras, berpandangan luas, dan berpikir panjang dalam berbisnis. Dalam berbisnis memang yang diperlukan kerja keras, berpandangan luas serta bukan berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang banyak dalam jangka pendek, tetapi bagaimana keuntungan yang diperoleh itu konsisten dalam waktu yang lama, sehingga bisnis dapat bertahan dan kuat.
2)      Cina memiliki budaya bisnis yang mengajarkan untuk berani, ulet, cekatan, dan rela berkorban demi tercapainya  sukses di bisnis. Ketika berbisnis memang diperlukan suatu pengorbanan yang cukup besar, baik waktu, biaya dan pikiran. Selalu berpikirlah ke depan dan lakukan yang terbaik untuk kemajuan bisnis yang dimiliki.
3)      Cina memiliki sistem bisnis yang mengutamakan pelanggan. Pelanggan ibaratnya asset yang berharga, karena pelanggan merupakan konsumen utama dalam berbisnis, ketika pelanggan mendapatkan pelayanan yang memuaskan, maka pelanggan akan setia untuk berbisnis dengan kita. Oleh karena itu, selalu utamakanlah pelanggan dalam proses bisnis kita dan jangan membuat pelanggan kecewa.
4)      Cina memiliki etika bisnis yang melarang penggunaan cara-cara kotor dalam bisnis karena perbuatan tersebut dianggap terkutuk serta orang cina tidak boleh kaku. Dalam berbisnis itu lakukan dengan jujur dan tidak melakukan kecurangan, ketika kejujuran dan cara-cara kotor digunakan, maka bisnis kita tidak akan dipercaya lagi. Dalam melakukan proses bisnis juga tidak boleh kaku, dalam artian proses bisnis yang digunakan harus mampu menjangkau semua aspek-aspek masyarakat mulai dari masyarakat ekonomi atas, ekonomi menengah, dan ke bawah.
5)      Cina memiliki banyak cara jitu dan sangat berguna dalam mengembangkan bisnis mereka. Dalam berbisnis memang diperlukan suatu strategi yang jitu untuk mengembangkan bisnis, strategi dikatakan baik jika strategi yang digunakan mampu mendapatkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan dalam melakukan proses bisnisnya, serta dapat menjangkau semua aspek masyarakat.

Pengertian Sistem Bisnis
-  Suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. (Huat, T Chwee, 1990).
-  Merupakan suatu organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. (Griffin & Ebert).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sistem Bisnis adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu dan sekelompok orang (organisasi) yang menciptakan nilai (create value) melalui penciptaan barang dan jasa (create of good and service) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperoleh keuntungan melalui transaksi.

 Perbandingan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis China Sistem Bisnis di Indonesia
Sistem Bisnis Indonesia terdiri dari lima komponen utama yaitu Input, Proses, Output, Feedback dan Environment. Sistem Bisnisnya menggunakan cara perekonomian terencana memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Konsep bisnis di indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat.
1)      Input Bisnis Indonesia meliputi Sumber daya manusia, Modal, Uang, Bahan baku, Peralatan dan mesin, Tanah dan Bangunan, Kewirausahaan, Teknologi, Informasi dan Pelanggan.
2)      Proses Bisnis Indonesia menggunakan berbagai Teknologi, misalnya Industri yang ada menggunakan teknologi maju untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi bagi perekonomian, tetapi ada juga sektor Industri yang menggunakan teknologi tradisional.
3)      Feedback (Umpan balik) muncul sebagai hasil proses evaluasi, yaitu membandingkan antara standart output yang diharapkan dengan output yang sesungguhnya yang dihasilkan.
4)      Lingkungan Perusahaan (Bussiness Environment), Perusahaan sebagai sistem terbuka melakukan aktivitasnya di dalam lingkungan perusahaan dan dipengaruhi oleh lingkungan perusahaan yang terdiri dari berbagai kekuatan, sumber daya dan lembaga-lembaga yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Barang dan jasa yang dihasilkan sektor perusahaan akan digunakan oleh empat sektor yang ada dalam Sistem Ekonomi Indonesia yaitu Sektor Perusahaan, Sektor Rumah tangga, Pemerintah (Government Sector), Asing (Foreign Sectors).

Sistem Bisnis di China
Sistem Bisnis China mengutamakan interaksi tatap muka atau face to face antara pedagang dan pelanggan serta komunikasi dengan banyak orang. Secara singkat, Sistem Bisnis China dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Sistem Bisnis China menghendaki adanya proses, yaitu sesuatu yang terjadi dengan cara tertentu dan memperoleh hasil yang diharapkan.
2)      Sistem Bisnis China mempercayai hubungan baik dengan pelanggan adalah sangat penting untuk menciptakan usaha yang maju.
3)      Sistem Bisnis China menghendaki adanya proses, biar sedikit dan lambat asal langgeng. Lebih baik memberikan perhatian penuh pada satu jenis kegiatan dan setelah berhasil baru mencoba kegiatan yang lainnya.
4)      Pelanggan lama diberikan kebebasan dan pelayanan yang istimewa sedangkan pelanggan baru diiming-imingi dengan potongan harga dan kemudahan kredit. Pelanggan puas adalah kunci sukses Sistem Bisnis China.
5)      Pekerja dalam Bisnis China adalah bagian yang tidak terpisahkan dari entitas bisnis. Sistem Bisnis China menghendaki adanya sepenanggungan antara pemilik (taukeh) dengan pekerja. Dalam Bisnis China juga ada tradisi untuk makan bersama dengan pekerja sebagai suatu keluarga besar pada tahun baru China.

Perbedaan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis di China
Sistem Bisnis Indonesia menggunakan cara perekonomian terencana memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Konsep bisnis di indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang ‘jauh’ antara pemimpin dan bawahannya (pekerja). Sedangkan Sistem Bisnis China mengembangkan budaya organisasi dengan menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan adanya sistem manajemen pararel yaitu sistem administrasi dan struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di lingkungan Partai Komunis yang disebut sistem “dua kendali”, Pekerja dalam Bisnis China adalah bagian yang tidak terpisahkan dari entitas bisnis dan menghendaki adanya sepenanggungan antara pemilik dengan pekerja.

Sikap yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia:
Perilaku ekonomi etnis China di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Persepsi tentang etnis China di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis China di Indonesia. Pembentukan persepsi tentang etnis China di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang.
Stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis China dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis China ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis China yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis China tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perlaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina.  Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.

Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Cina di Indonesia, ini semakin meningkatkan kekuatan usaha etnis Cina. Situasi dan kondisi ini mendorong usahawan etnis Cina mendirikan usahanya sampai ke wilayah pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik usaha dengan pengusaha pribumi, justru dominasi pengusaha etnis Cina pada sektor-sektor kehidupan ekonomi yang lebih penting di kota besar yang menjadi salah satu penyebab saingan keras dengan pengusaha pribumi kelas menengah.
Adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi. Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya.
Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Selain itu, bekerjasama dengan pengusaha pribumi rentan resiko karena mereka umumnya beraliansi pada partai-partai politik tertentu, sementara pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik. Situasi kondisi ini yang semakin menyuburkan praktik percukongan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian sistem kemitraan cukong ini berubah dari waktu ke waktu tergantung pada keberuntungan bisnis Cina yang bersangkutan.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri (Naisbitt, 1997:28). Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya. Dalam kenyataan sosial dan politik, beberapa orang dalam masyarakat pribumi menganggap etnis Cina lokal tetap sebagai orang “luar” yang diragukan nasionalismenya dan tidak dapat berasimilasi. Hal ini menjadi bumerang bagi semua pihak dimana dapat dipastikan pada etnis Cina akan merasa terancam dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan dengan solidaritas komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas.
Seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo (Naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, didalamnya di gambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.
Gambaran di atas membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya.






  1. Kesimpulan :
Penyebab bisnis China bisa menggurita (maju) di Indonesia diantaranya adalah:
1)      Falsafah bisnis Cina yang mengajarkan orang cina untuk bekerja keras, berpandangan luas, dan berpikir panjang dalam berbisnis.
2)      Cina memiliki budaya bisnis yang mengajarkan untuk berani, ulet, cekatan, dan rela berkorban demi tercapainya  sukses di bisnis.
3)      Cina memiliki sistem bisnis yang mengutamakan pelanggan.
4)      Cina memiliki etika bisnis yang melarang penggunaan cara-cara kotor dalam bisnis karena perbuatan tersebut dianggap terkutuk serta orang cina tidak boleh kaku.
5)      Cina memiliki banyak cara jitu dan sangat berguna dalam mengembangkan bisnis mereka.
Apabila Bangsa Indonesia mampu menanamkan jiwa bisnis seperti orang Cina, maka tidaklah mungkin Indonesia akan mampu menguasai dunia bisnis dan perekonomian dunia, karena Indonesia juga didukung dengan letak geografis yang strategis dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tinggal bagaimana Sumber Daya Manusia dari Negara Indonesia untuk memaksimalkannya dan mau berubah menjadi lebih baik lagi, serta meningkatkan teknologinya agar maju.
Perbedaan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis di China :
Konsep bisnis di Indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang ‘jauh’ antara pemimpin dan bawahannya (pekerja). Sedangkan Sistem Bisnis China mengembangkan budaya organisasi dengan menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan adanya sistem manajemen pararel yaitu sistem administrasi dan struktur kepemimpinan internal
Sikap yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia:
Persepsi tentang etnis China di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis China di Indonesia. Terdapat stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis China dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis China ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis China yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis China tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi. Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya.
Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Dan pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri. Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya.
Di Indonesia sebanyak 73% perusahaan-perusahaan di Indonesia secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan. Sehingga membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya.
Etnis China dengan perilaku ekonominya disadari atau tidak, dalam kenyataan telah menyumbangkan beragam kegiatan perekonomian bangsa Indonesia baik yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan budaya “pecinan”-nya memperkaya keunikan khasanah budaya Indonesia.

By: Nisma Islami, SE
 LAMPIRAN:
”Jaringan Bisnis China Menggurita”

Senin, 15 Maret 2010 | 03:30 WIB
Jakarta, Kompas -  Penguasaan pasar Indonesia oleh jaringan bisnis asal China sudah menggurita hingga ke tingkat konsumen akhir.
Distribusi barang impor asal China hanya memerlukan waktu sekitar dua jam, mulai dari bongkar muat di pelabuhan hingga diperdagangkan di pasar induk yang ada di Jakarta.
”Bayangkan saja kecepatan distribusi mereka (pedagang asal China), sejak masuk Tanjung Priok dan bongkar barang jam 7 pagi sudah tiba di pasar induk pukul 9. Jaringan mereka sangat canggih,” ujar Deputi Koordinasi Bidang Perdagangan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawadi di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Edy, informasi itu diketahui dari hasil pemantauan pemerintah, antara lain oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang sudah mengembangkan sistem peringatan untuk mengantisipasi dampak buruk Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China.
”Pemerintah mengawasi 127 pelabuhan di seluruh Indonesia untuk melihat kemungkinan terjadinya pelanggaran kepabeanan,” ungkapnya.
Kelemahan industri Indonesia dalam menghadapi barang China terlihat dari besarnya aliran impor dari negara tersebut ke pasar dalam negeri.
Tingginya impor China menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat permintaan di dalam negeri sangat besar. Namun, pelaku usaha dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan itu.
Tidak mandiri
Berdasarkan pemantauan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, sedikitnya ada sekitar 800 pengusaha asing dan domestik yang meminta fasilitas kepada pemerintah.
Ini menyedihkan karena menunjukkan pelaku usaha dalam negeri yang tidak mandiri dan sangat bergantung pada pemberian pemerintah.
Padahal, insentif pemerintah itu hanya layak diberikan kepada pelaku usaha yang baru memulai investasi dan menjalankan bisnisnya maksimal dua tahun.
”Sekarang, pengusaha yang meminta insentif justru pelaku usaha yang sudah tua, lebih dari lima tahun. Ada yang membeli mesin produksi dan berproduksi satu hingga tiga tahun, setelah itu malah mengimpor barang jadi. Bukan pengusaha seperti itu yang perlu diberi insentif, tetapi pengusaha infant (yang masih bayi),” tegas Edy.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, selama Januari-November 2009, ekspor Indonesia ke China tercatat 7,71 miliar dollar AS, sementara impor 12,01 miliar dollar AS. (OIN)


DAFTAR PUSTAKA:


Impor Indonesia ke Cina Meningkat Tajam dalam 5 Tahun



Mengapa Produk Indonesia Tidak Mampu Bersaing

Perilaku Ekonimis Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an http://pantangpulangsebelumpadam.blogspot.com/2007/12/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di.html