”Jaringan Bisnis Cina Menggurita”
Analisa Kasus
- Ringkasan Artikel:
Penguasaan pasar Indonesia oleh jaringan bisnis asal China sudah menggurita hingga ke tingkat konsumen akhir. Distribusi barang impor asal China hanya memerlukan waktu sekitar dua jam, mulai dari bongkar muat di pelabuhan hingga diperdagangkan di pasar induk yang ada di Jakarta.
Kelemahan industri Indonesia dalam menghadapi barang China terlihat dari besarnya aliran impor dari negara tersebut ke pasar dalam negeri. Tingginya impor China menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat permintaan di dalam negeri sangat besar. Namun, pelaku usaha dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan itu.
Berdasarkan pemantauan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, sedikitnya ada sekitar 800 pengusaha asing dan domestik yang meminta fasilitas kepada pemerintah. Ini menyedihkan karena menunjukkan pelaku usaha dalam negeri yang tidak mandiri dan sangat bergantung pada pemberian pemerintah.
Padahal, insentif pemerintah itu hanya layak diberikan kepada pelaku usaha yang baru memulai investasi dan menjalankan bisnisnya maksimal dua tahun. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, selama Januari-November 2009, ekspor Indonesia ke China tercatat 7,71 miliar dollar AS, sementara impor 12,01 miliar dollar AS.
|
1.bp.blogspot.com/ |
- Rumusan Permasalahan:
a) Apa penyebab bisnis China bisa menggurita (maju) di Indonesia?
b) Apakah perbedaan sistem bisnis China dengan sistem bisnis Indonesia?
c) Sikap apa yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia?
- Pembahasan:
Impor produk-produk China ke Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Namun peningkatan impor itu juga diimbangi dengan kenaikan investasi China di Indonesia. Jika pada tahun 2004 impor China ke Indonesia hanya sebesar hanya sebesar 7,9 % dari total impor yang dilakukan Indonesia, namun pada tahun 2009 sudah melonjak ke level 19,77 %.
Awal Januari 2010 mulai berlaku perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China (Asean – China Free Trade Agreement / CFTA). Kesepakatan tersebut telah dibuat pada tahun 2004 yang diawali mulai pembicaraan pada tahun 2002. Ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra terhadap pelaksanaan perdagangan bebas Asean-China terutama di Indonesia.
Ada yang pro dan yang kontra merupakan hal yang wajar dan tidak perlu disikapi berlebihan sehingga mengesankan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak mempunyai komitmen yang telah mereka buat bersama-sama antara negara ASEAN – dengan China.
Para pelaku ekonomi (pengusaha) di negeri China dengan dukungan penuh negerinya mampu menghasilkan produk yang berkualitas baik dengan harga yang kompetitif (murah), sehingga produk China mampu menembus pasar di berbagai negara termasuk Indonesia.
Ketidaksiapan bangsa Indonesia untuk menghadapi dan melaksanakan perdagangan bebas Asean – China dikarenakan produk-produk yang dihasilkan bangsa Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan oleh pengusaha negeri China. Produk Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri khususnya dari negeri China dikarenakan (maaf) berkualitas rendah dan harganya tidak kompetitif.
1) Falsafah bisnis Cina yang mengajarkan orang cina untuk bekerja keras, berpandangan luas, dan berpikir panjang dalam berbisnis. Dalam berbisnis memang yang diperlukan kerja keras, berpandangan luas serta bukan berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang banyak dalam jangka pendek, tetapi bagaimana keuntungan yang diperoleh itu konsisten dalam waktu yang lama, sehingga bisnis dapat bertahan dan kuat.
2) Cina memiliki budaya bisnis yang mengajarkan untuk berani, ulet, cekatan, dan rela berkorban demi tercapainya sukses di bisnis. Ketika berbisnis memang diperlukan suatu pengorbanan yang cukup besar, baik waktu, biaya dan pikiran. Selalu berpikirlah ke depan dan lakukan yang terbaik untuk kemajuan bisnis yang dimiliki.
3) Cina memiliki sistem bisnis yang mengutamakan pelanggan. Pelanggan ibaratnya asset yang berharga, karena pelanggan merupakan konsumen utama dalam berbisnis, ketika pelanggan mendapatkan pelayanan yang memuaskan, maka pelanggan akan setia untuk berbisnis dengan kita. Oleh karena itu, selalu utamakanlah pelanggan dalam proses bisnis kita dan jangan membuat pelanggan kecewa.
4) Cina memiliki etika bisnis yang melarang penggunaan cara-cara kotor dalam bisnis karena perbuatan tersebut dianggap terkutuk serta orang cina tidak boleh kaku. Dalam berbisnis itu lakukan dengan jujur dan tidak melakukan kecurangan, ketika kejujuran dan cara-cara kotor digunakan, maka bisnis kita tidak akan dipercaya lagi. Dalam melakukan proses bisnis juga tidak boleh kaku, dalam artian proses bisnis yang digunakan harus mampu menjangkau semua aspek-aspek masyarakat mulai dari masyarakat ekonomi atas, ekonomi menengah, dan ke bawah.
5) Cina memiliki banyak cara jitu dan sangat berguna dalam mengembangkan bisnis mereka. Dalam berbisnis memang diperlukan suatu strategi yang jitu untuk mengembangkan bisnis, strategi dikatakan baik jika strategi yang digunakan mampu mendapatkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan dalam melakukan proses bisnisnya, serta dapat menjangkau semua aspek masyarakat.
Pengertian Sistem Bisnis
- Suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. (Huat, T Chwee, 1990).
- Merupakan suatu organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. (Griffin & Ebert).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sistem Bisnis adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu dan sekelompok orang (organisasi) yang menciptakan nilai (create value) melalui penciptaan barang dan jasa (create of good and service) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memperoleh keuntungan melalui transaksi.
Perbandingan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis China Sistem Bisnis di Indonesia
Sistem Bisnis Indonesia terdiri dari lima komponen utama yaitu Input, Proses, Output, Feedback dan Environment. Sistem Bisnisnya menggunakan cara perekonomian terencana memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Konsep bisnis di indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat.
1) Input Bisnis Indonesia meliputi Sumber daya manusia, Modal, Uang, Bahan baku, Peralatan dan mesin, Tanah dan Bangunan, Kewirausahaan, Teknologi, Informasi dan Pelanggan.
2) Proses Bisnis Indonesia menggunakan berbagai Teknologi, misalnya Industri yang ada menggunakan teknologi maju untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi bagi perekonomian, tetapi ada juga sektor Industri yang menggunakan teknologi tradisional.
3) Feedback (Umpan balik) muncul sebagai hasil proses evaluasi, yaitu membandingkan antara standart output yang diharapkan dengan output yang sesungguhnya yang dihasilkan.
4) Lingkungan Perusahaan (Bussiness Environment), Perusahaan sebagai sistem terbuka melakukan aktivitasnya di dalam lingkungan perusahaan dan dipengaruhi oleh lingkungan perusahaan yang terdiri dari berbagai kekuatan, sumber daya dan lembaga-lembaga yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Barang dan jasa yang dihasilkan sektor perusahaan akan digunakan oleh empat sektor yang ada dalam Sistem Ekonomi Indonesia yaitu Sektor Perusahaan, Sektor Rumah tangga, Pemerintah (Government Sector), Asing (Foreign Sectors).
Sistem Bisnis di China
Sistem Bisnis China mengutamakan interaksi tatap muka atau face to face antara pedagang dan pelanggan serta komunikasi dengan banyak orang. Secara singkat, Sistem Bisnis China dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Sistem Bisnis China menghendaki adanya proses, yaitu sesuatu yang terjadi dengan cara tertentu dan memperoleh hasil yang diharapkan.
2) Sistem Bisnis China mempercayai hubungan baik dengan pelanggan adalah sangat penting untuk menciptakan usaha yang maju.
3) Sistem Bisnis China menghendaki adanya proses, biar sedikit dan lambat asal langgeng. Lebih baik memberikan perhatian penuh pada satu jenis kegiatan dan setelah berhasil baru mencoba kegiatan yang lainnya.
4) Pelanggan lama diberikan kebebasan dan pelayanan yang istimewa sedangkan pelanggan baru diiming-imingi dengan potongan harga dan kemudahan kredit. Pelanggan puas adalah kunci sukses Sistem Bisnis China.
5) Pekerja dalam Bisnis China adalah bagian yang tidak terpisahkan dari entitas bisnis. Sistem Bisnis China menghendaki adanya sepenanggungan antara pemilik (taukeh) dengan pekerja. Dalam Bisnis China juga ada tradisi untuk makan bersama dengan pekerja sebagai suatu keluarga besar pada tahun baru China.
Perbedaan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis di China
Sistem Bisnis Indonesia menggunakan cara perekonomian terencana memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Konsep bisnis di indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang ‘jauh’ antara pemimpin dan bawahannya (pekerja). Sedangkan Sistem Bisnis China mengembangkan budaya organisasi dengan menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan adanya sistem manajemen pararel yaitu sistem administrasi dan struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di lingkungan Partai Komunis yang disebut sistem “dua kendali”, Pekerja dalam Bisnis China adalah bagian yang tidak terpisahkan dari entitas bisnis dan menghendaki adanya sepenanggungan antara pemilik dengan pekerja.
Sikap yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia:
Perilaku ekonomi etnis China di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Persepsi tentang etnis China di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis China di Indonesia. Pembentukan persepsi tentang etnis China di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang.
Stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis China dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis China ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis China yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis China tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perlaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina. Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.
Kuatnya hubungan jaringan kerja etnis Cina di Indonesia, ini semakin meningkatkan kekuatan usaha etnis Cina. Situasi dan kondisi ini mendorong usahawan etnis Cina mendirikan usahanya sampai ke wilayah pelosok-pelosok pedesaan. Tetapi kondisi ini tidak memancing konflik usaha dengan pengusaha pribumi, justru dominasi pengusaha etnis Cina pada sektor-sektor kehidupan ekonomi yang lebih penting di kota besar yang menjadi salah satu penyebab saingan keras dengan pengusaha pribumi kelas menengah.
Adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi. Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya.
Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Selain itu, bekerjasama dengan pengusaha pribumi rentan resiko karena mereka umumnya beraliansi pada partai-partai politik tertentu, sementara pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik. Situasi kondisi ini yang semakin menyuburkan praktik percukongan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Meski demikian sistem kemitraan cukong ini berubah dari waktu ke waktu tergantung pada keberuntungan bisnis Cina yang bersangkutan.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri (Naisbitt, 1997:28). Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya. Dalam kenyataan sosial dan politik, beberapa orang dalam masyarakat pribumi menganggap etnis Cina lokal tetap sebagai orang “luar” yang diragukan nasionalismenya dan tidak dapat berasimilasi. Hal ini menjadi bumerang bagi semua pihak dimana dapat dipastikan pada etnis Cina akan merasa terancam dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan dengan solidaritas komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas.
Seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo (Naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, didalamnya di gambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.
Gambaran di atas membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya.
- Kesimpulan :
Penyebab bisnis China bisa menggurita (maju) di Indonesia diantaranya adalah:
1) Falsafah bisnis Cina yang mengajarkan orang cina untuk bekerja keras, berpandangan luas, dan berpikir panjang dalam berbisnis.
2) Cina memiliki budaya bisnis yang mengajarkan untuk berani, ulet, cekatan, dan rela berkorban demi tercapainya sukses di bisnis.
3) Cina memiliki sistem bisnis yang mengutamakan pelanggan.
4) Cina memiliki etika bisnis yang melarang penggunaan cara-cara kotor dalam bisnis karena perbuatan tersebut dianggap terkutuk serta orang cina tidak boleh kaku.
5) Cina memiliki banyak cara jitu dan sangat berguna dalam mengembangkan bisnis mereka.
Apabila Bangsa Indonesia mampu menanamkan jiwa bisnis seperti orang Cina, maka tidaklah mungkin Indonesia akan mampu menguasai dunia bisnis dan perekonomian dunia, karena Indonesia juga didukung dengan letak geografis yang strategis dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tinggal bagaimana Sumber Daya Manusia dari Negara Indonesia untuk memaksimalkannya dan mau berubah menjadi lebih baik lagi, serta meningkatkan teknologinya agar maju.
Perbedaan Sistem Bisnis di Indonesia dengan Sistem Bisnis di China :
Konsep bisnis di Indonesia cenderung kepada bagaimana mensejahterakan rakyat dan cenderung memiliki jarak kekuasaan yang ‘jauh’ antara pemimpin dan bawahannya (pekerja). Sedangkan Sistem Bisnis China mengembangkan budaya organisasi dengan menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan adanya sistem manajemen pararel yaitu sistem administrasi dan struktur kepemimpinan internal
Sikap yang diambil atau persepsi (pro-kontra) terhadap bisnis China di Indonesia:
Persepsi tentang etnis China di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis China di Indonesia. Terdapat stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis China dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis China ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis China yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis China tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Adanya hubungan percukongan yang semakin menjamur dan semakin meningkatnya kejayaan perilaku ekonomi di kalangan elit etnis Cina semasa Orde Baru. Hal ini menjadikan perusahaan- perusahaan mereka sebagai perusahaan multinasional selain konglomerasi. Sementara itu masyarakat kelas menengah pribumi belum begitu kuat dalam sektor ekonomi modern, kecuali konglomeratnya.
Kondisi ini diperburuk dengan sikap beberapa birokrat atau pejabat tinggi Indonesia yang cenderung lebih menyukai kerjasama dengan etnis Cina untuk menjalankan usaha mereka, karena etnis Cina dianggap lebih berpengalaman dan kuat modal daripada pribumi. Dan pengusaha etnis Cina umumnya netral dalam politik.
Dalam tiga dasa warsa terakhir, masyarakat etnis Cina perantauan dan atau etnis Cina di Indonesia justru cenderung menanam modal jangka panjang di dalam negeri. Sikap ini mematahkan generalisasi stereotipe bahwa etnis Cina cenderung menanamkan investasi di negara asal, daripada negara yang ditempatinya. Namun sikap ini juga tergantung pada sikap pemerintah dan kebijakan politik serta sikap rakyat pada umumnya.
Di Indonesia sebanyak 73% perusahaan-perusahaan di Indonesia secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan. Sehingga membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya.
Etnis China dengan perilaku ekonominya disadari atau tidak, dalam kenyataan telah menyumbangkan beragam kegiatan perekonomian bangsa Indonesia baik yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan budaya “pecinan”-nya memperkaya keunikan khasanah budaya Indonesia.
By: Nisma Islami, SE
LAMPIRAN:
”Jaringan Bisnis China Menggurita”
Senin, 15 Maret 2010 | 03:30 WIB
Jakarta, Kompas - Penguasaan pasar Indonesia oleh jaringan bisnis asal China sudah menggurita hingga ke tingkat konsumen akhir.
Distribusi barang impor asal China hanya memerlukan waktu sekitar dua jam, mulai dari bongkar muat di pelabuhan hingga diperdagangkan di pasar induk yang ada di Jakarta.
”Bayangkan saja kecepatan distribusi mereka (pedagang asal China), sejak masuk Tanjung Priok dan bongkar barang jam 7 pagi sudah tiba di pasar induk pukul 9. Jaringan mereka sangat canggih,” ujar Deputi Koordinasi Bidang Perdagangan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawadi di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Edy, informasi itu diketahui dari hasil pemantauan pemerintah, antara lain oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang sudah mengembangkan sistem peringatan untuk mengantisipasi dampak buruk Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China.
”Pemerintah mengawasi 127 pelabuhan di seluruh Indonesia untuk melihat kemungkinan terjadinya pelanggaran kepabeanan,” ungkapnya.
Kelemahan industri Indonesia dalam menghadapi barang China terlihat dari besarnya aliran impor dari negara tersebut ke pasar dalam negeri.
Tingginya impor China menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat permintaan di dalam negeri sangat besar. Namun, pelaku usaha dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan itu.
Tidak mandiri
Berdasarkan pemantauan Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, sedikitnya ada sekitar 800 pengusaha asing dan domestik yang meminta fasilitas kepada pemerintah.
Ini menyedihkan karena menunjukkan pelaku usaha dalam negeri yang tidak mandiri dan sangat bergantung pada pemberian pemerintah.
Padahal, insentif pemerintah itu hanya layak diberikan kepada pelaku usaha yang baru memulai investasi dan menjalankan bisnisnya maksimal dua tahun.
”Sekarang, pengusaha yang meminta insentif justru pelaku usaha yang sudah tua, lebih dari lima tahun. Ada yang membeli mesin produksi dan berproduksi satu hingga tiga tahun, setelah itu malah mengimpor barang jadi. Bukan pengusaha seperti itu yang perlu diberi insentif, tetapi pengusaha infant (yang masih bayi),” tegas Edy.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, selama Januari-November 2009, ekspor Indonesia ke China tercatat 7,71 miliar dollar AS, sementara impor 12,01 miliar dollar AS. (OIN)
DAFTAR PUSTAKA:
Impor Indonesia ke Cina Meningkat Tajam dalam 5 Tahun
Mengapa Produk Indonesia Tidak Mampu Bersaing