Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Sabtu, 11 Februari 2012

'Menggantung' nasib pekerja outsourcing


Analisa Kasus
  1. Latar Belakang:
Krisis ekonomi global terus menelan korban. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) per 29 Mei 2009, sebanyak 52.399 orang telah kehilangan pekerjaan. Mereka merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK), yang sebagian besar adalah pekerja alih daya (outsourcing). Karyawan yang pertama kali mereka 'korbankan' untuk meringankan beban keuangan perusahaan adalah karyawan berstatus outsourcing tersebut.
Selama dipekerjakan, sering sekali karyawan berstatus outsourcing mendapatkan perlakuan seperti warga kelas dua. Sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) dan berbagai tunjangan yang diperoleh karyawan tetap. Pekerja outsourcing juga harus bersiap-siap mencari pekerjaan kembali, setelah masa kontrak mereka habis dan mereka tidak mendapatkan pesangon maupun tali asih dari perusahaan tempatnya bekerja maupun perusahaan penyalurnya.
Melihat berbagai permasalahan yang menimpa pekerja outsourcing, kalangan serikat pekerja mendesak pemerintah untuk secepatnya menghapus sistem alih daya. Hingga kini, pemerintah seolah bergeming. Sistem outsourcing masih tetap dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Bahkan beberapa hukum yang ada di Indonesia mendukung atau melegalkan adanya outsourcing.
http://www.webdesigndev.com/wp-content/uploads/2010/10/outsourcing.gif
  Legalisasi sistem alih daya (outsourcing) :
  Keputusan Menteri Perdagangan No. 264/KP/89 tentang Pekerjaan Subkontrak Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.
   Surat Edaran Menakertrans No. SE-08/MEN/1990 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan Pekerjaan terhadap Pekerja.
   Keputusan Menteri Perdagangan No. 135/KP/VI/1993 tentang Pemasukan dan Pengeluaran.
    Peraturan Menakertrans No. 02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Barang ke dan dari Kawasan Berikat.
      UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sumber: Depnakertrans, diolah
Dari sisi pengusaha, penghapusan sistem kerja outsourcing jelas akan memberatkan mereka karena keberadaan pekerja outsourcing dibutuhkan untuk pekerjaan atau proyek bersifat sementara dan hanya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah terbatas.
Didukung undang-undang
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno dan wakil ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mathias Tambing mengatakan penghapusan maupun perubahan sistem outsourcing sulit dilakukan karena hal itu dilegalkan oleh UU Ketenagakerjaan. Mereka hanya mengharapkan pemerintah menempatkan masalah outsourcing sebagai prioritas untuk diselesaikan.
Menurut Iftida Yasar, Penasihat Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), sistem outsourcing sebenarnya tidak merugikan pekerja, sepanjang sistem itu dijalankan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Solusi yang menguntungkan pekerja dan pengusaha tentu harus segera diupayakan. Tak ada alasan untuk membuat pekerja outsourcing sebagai warga kelas dua, dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
  1. Rumusan Permasalahan:
Bagaimana pengaruh UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terhadap fungsi Manajemen SDM tentang employee dan labor relationship terkait penerapan outsourcing?

  1. Pembahasan:
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)
Outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut beberapa penjabarannya dalam tabel 1.
 TABEL 1
Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING
KONTRA OUTSOURCING
-       Business owner bisa fokus pada core business.
-       Cost reduction.
-       Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.
-       Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over tenaga kerja.
-        Bagian dari modenisasi dunia usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

-    Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)
-    Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh.  (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-    Eksploitasi manusia (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu danOutsourcing, (www.sinarharapan.co.id)
(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing di internet)
Undang-undang Mengenai Outsourcing
Untuk mengantisipasi kontra yang terjadi dalam penggunaan outsourcing, maka dibuat Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Bab IX tentang Hubungan Kerja, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang terkait langsung dengan outsourcing. Berikut dijabarkan isi dari undang-undang tersebut.
·        Pasal 50 – 55, Perjanjian Kerja
·        Pasal 56 – 59, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59
(1)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1.      Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.      Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu  yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3.      Pekerjaan yang bersifat musiman;
4.      Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4)   Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangaka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali  untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

·        Pasal 64 – 66, Outsourcing
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.



Pasal 65
(1)               Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2)               Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.                   Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.                  Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.                   Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.                  Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3)               Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)               Perlindungan kerja dan yarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)               Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)               Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakan.
(7)               Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)               Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 66
Penyediaan jasa pekerja./buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
Pasal 1 ayat 15, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atas kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Langkah-langkah Penerapan Sistem Outsourcing
Ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, menjadi legitimasi tersendiri bagi keberadaan outsourcing di Indonesia. Artinya, secara legal formal, sistem kerja outsourcing memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. Keadaan demikian yang membuat pengusaha menerapkan sistem ini.  (Sumber: “Hadang Outsourcing dengan Framework Agreement”, www.hukumonline.com).
Dimuatnya ketentuan outsourcing pada Undang-Undang Tenaga Kerja dimaksudkan untuk mengundang para investor agar mau berinvestasi di Indonesia.
Penggunaan outsourcing seringkali digunakan sebagai strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada core business-nya. Namun, pada prakteknya outsourcing didorong oleh keinginan perusahaan untuk menekan cost hingga serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda walaupun seringkali melanggar etika bisnis. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, malangnet.wordpress.com)
Empat alasan menggunakan outsourcing, yaitu agar perusahaan dapat fokus terhadap core business, untuk menghemat biaya operasional, turn over karyawan menjadi rendah, modernisasi dunia usaha dan lainnya. Adapun yang menjadi alasan lainnya adalah :
a.       Efektifitas manpower
b.      Tidak perlu mengembangkan SDM untuk pekerjaan yang bukan utama.
c.       Memberdayakan anak perusahaan.
d.      Dealing with unpredicted business condition.
Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1.   Penentuan partner outsourcing.
    Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner outsourcing.
2.   Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
    Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga  mereka memiliki kepastian hukum.
3.   Pelanggaran ketentuan outsourcing.
    Perusahan outsourcing  memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga, yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing Banyak Disalahgunakan”,  www.fpks-dpr.or.id)

Indikator Keberhasilan Penerapan Sistem Outsourcing
Tidak semua perusahaan berhasil menerapkan sistem outsourcing. Responden melihat indikator keberhasilan terbesar (25%) dalam penerapan outsourcing adalah pihak yang terlibat harus bertanggungjawab, mendukung, dan berkomitmen untuk melaksanakan outsourcing. Sedangkan 23.81% menyatakan bahwa keberhasilan dilihat dari detail aturan main outsourcing didefinisikan dalam kontrak kerja. Untuk kejelasan ruang lingkup proses outsourcing yang ingin dilakukan menjadi faktor keberhasilan yang dipilih oleh 17.86%. Update perjanjian antar pengguna dan penyedia tenaga outsource (13.10%), ada atau tidaknya prosedur formal dalam tender calon perusahaan outsourcing (10.71%) dan jangka waktu penyelenggaraan outsourcing (9.52%).
Inti dari faktor-faktor tersebut diatas adalah harus adanya kerjasama dan komitmen yang jelas antara kedua belah pihak agar outsourcing dapat berjalan sebagaimana harapan yang keseluruhan perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan secara jelas dan terperinci di dalam kontrak outsourcing

Keefektifan Outsourcing
Dengan melihat alasan menggunakan outsourcing, faktor-faktor pemilihan perusahaan penyedia jasa outsourcing, serta kepuasan perusahaan terhadap tenaga outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga outsource dinilai efektif dan akan terus menggunakan outsourcing dalam kegiatan operasionalnya.
Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya:
a. Komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau permasalahan yang terjadi.
b.Tenaga outsource telah di training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan.
c. Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yang ditulis secara detail dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya.
Sedangkan yang menyebabkan outsourcing menjadi tidak efektif adalah karena kurangnya knowledge, skill dan attitude (K.S.A) dari tenaga outsource.

4.     Kesimpulan :

Penghapusan atau perubahan undang-undang Ketenagakerjaan dan hukum lain yang melegalkan outsourcing dirasakan sulit. Diperlukan kerjasama pemerintah, pengusaha ataupun para pekerja outsourcing tersebut untuk terus mempelajari bagaimana seharusnya jika akan menjadi pekerja outsourcing, bagaimana seharusnya perusahaan memperlakukan pekerja tersebut dan dukungan dari pemerintah yang lebih cepat dan efektif agar kegiatan outsourcing tersebut dapat berjalan dengan positif dan bukan menjadikan para pekerja menjadi sengsara.

Sebagai contoh, dilakukan kontrak kerja yang jelas antara perusahaan, penyalur dan pekerja outsourcing. Jika belum ada kejelasan sebagai pekerja seharusnya ia selalu mengingatkan agar tidak terjadi diskomunikasi. Perusahaan juga harus memberikan yang tunjangan yang layak walaupun mungkin tidak sama dengan pekerja tetap.

 By: Nisma Islami, SE


 DAFTAR PUSTAKA:

“Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, malangnet.wordpress.com
“Hadang Outsourcing dengan Framework Agreement”, www.hukumonline.com
Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com
Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id


 
LAMPIRAN:

'Menggantung' nasib pekerja outsourcing

Kamis, 04/06/2009 10:49:56 WIBOleh: R. Fitriana & Yeni H. Simanjuntak


Krisis ekonomi global terus menelan korban. Di Indonesia, berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) per 29 Mei 2009, sebanyak 52.399 orang telah kehilangan pekerjaan. Mereka merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK), yang sebagian besar adalah pekerja alih daya (outsourcing).
Hal itu diakui oleh sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Karyawan yang pertama kali mereka 'korbankan' untuk meringankan beban keuangan perusahaan adalah karyawan berstatus outsourcing. Mereka yang bernasib sial ini merupakan karyawan yang diterima lewat pihak ketiga, untuk dipekerjakan untuk waktu tertentu.
Selama dipekerjakan, tak jarang karyawan berstatus outsourcing mendapatkan perlakuan tak ubahnya sebagai warga kelas dua. Sebagian besar dari mereka yang tidak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) dan berbagai tunjangan yang diperoleh karyawan tetap.
Pekerja outsourcing juga harus bersiap-siap mencari pekerjaan kembali, setelah masa kontrak mereka habis. Saat perusahaan yang mempekerjakan mereka mengalami kesulitan, pekerja outsourcing menjadi pihak yang harus siap-siap segera angkat kaki, karena mereka adalah target pertama program PHK.
Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi bahkan memperkirakan hanya 5%-10% dari korban PHK tersebut yang berstatus karyawan tetap. Artinya, mayoritas dari korban PHK adalah pekerja outsourcing.
Melihat kenyataan seperti itu dan berbagai permasalahan yang menimpa pekerja outsourcing, kalangan serikat pekerja mendesak pemerintah untuk secepatnya menghapus sistem alih daya. Tuntutan yang selalu diulang dalam berbagai kesempatan, terutama setiap perayaan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei.
Namun, hingga kini, pemerintah seolah bergeming. Sistem outsourcing masih tetap dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Tak jarang, aturan soal outsourcing diabaikan oleh pemberi kerja. Mau tidak mau, pekerja harus terima nasib. Tingginya angka pengangguran membuat pekerja tidak punya pilihan.
Berbagai serikat pekerja menuding penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya menguntungkan pengusaha karena mereka tidak perlu membayar uang pesangon apabila terjadi PHK. Saat pekerja outsourcing terkena PHK dengan alasan pengurangan tenaga kerja akibat krisis, sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pesangon, apalagi dana tali asih dari perusahaan, baik dari perusahaan tempatnya bekerja maupun dari perusahaan penyalurnya.
Dari sisi pengusaha, penghapusan sistem kerja outsourcing jelas akan memberatkan mereka. Salah satu alasan yang sering diajukan pengusaha adalah keberadaan pekerja outsourcing dibutuhkan untuk pekerjaan atau proyek bersifat sementara dan hanya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah terbatas.
Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan juga 'melegalkan' penerapan sistem outsourcing, sehingga pengusaha berhak untuk menggunakan pekerja alih daya pada perusahaan mereka.
Legalisasi sistem alih daya (outsourcing) :
  Keputusan Menteri Perdagangan No. 264/KP/89 tentang Pekerjaan Subkontrak Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat.
   Surat Edaran Menakertrans No. SE-08/MEN/1990 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan Pekerjaan terhadap Pekerja.
Keputusan Menteri Perdagangan No. 135/KP/VI/1993 tentang Pemasukan dan Pengeluaran.
  Peraturan Menakertrans No. 02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu Barang ke dan dari Kawasan Berikat.
     UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sumber: Depnakertrans, diolah
Didukung undang-undang
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno mengatakan penghapusan sistem kerja outsourcing tidak mungkin dilakukan karena hal itu akan bertabrakan dengan UU Ketenagakerjaan. Undang-undang itu mengakui adanya pekerjaan dalam waktu tertentu.
Menakertrans yang mengaku setuju agar sistem alih daya dihapuskan, hanya dapat menjanjikan pembatasan sistem outsourcing. Pembentukan Badan Pekerja pada Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional diharapkan dapat menampung aspirasi pekerja dan pengusaha untuk menciptakan konsep perbaikan sistem outsourcing.
Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mathias Tambing menyebutkan pemerintah dipastikan akan kesulitan untuk mengubah sistem outsourcing karena hal tersebut dilegalkan oleh undang-undang.
Namun, dia berharap pemerintah menempatkan solusi bagi masalah pekerja outsourcing sebagai prioritas. "Pekerja outsourcing selalu menjadi prioritas pertama [untuk di-PHK] ketika perusahaan dalam kondisi krisis, sehingga posisi pekerja outsourcing sangat rawan," kata Mathias.
Menurut dia, tidak jarang pengurangan pekerja outsourcing yang dilakukan atas nama krisis, berujung pada rekrutmen pekerja outsourcing lainnya.
Menurut Iftida Yasar, Penasihat Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Abadi), sistem outsourcing sebenarnya tidak merugikan pekerja, sepanjang sistem itu dijalankan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Yang terjadi selama ini kan banyak perusahaan jasa outsourcing abal-abal [tidak jelas] yang merugikan pekerja yang mereka rekrut. Padahal, seharusnya perusahaan jasa outsourcing harus memberikan semua hak pekerja outsourcing sebagaimana yang didapat oleh karyawan tetap," jelasnya belum lama ini.
Entah sampai kapan masalah outsourcing ini akan terus 'digugat' oleh para pekerja. Solusi yang menguntungkan pekerja dan pengusaha tentu harus segera diupayakan. Tak ada alasan untuk membuat pekerja outsourcing sebagai warga kelas dua, dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
(rochmad.fitriana@bisnis.co.id/yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)

2 komentar:

caraBisnisPulsa mengatakan...

Memang sistem OS ini berpihak ke pengusaha..

m4.niniez mengatakan...

alangkah bagusnya kalau perusahaan bisa memberi jaminan dan tunjangan paling tidak hampir sama antara pekerja tetap dan kontrak...